Suran Syekh Ibrohim Asmara Kondi Kuwarisan Kebumen

http://www.beritakebumen.info/2012/12/suran-di-kuwarisan-ribuan-ingkung.htmlKEBUMEN (www.beritakebumen.info) - Warga Dukuh Kuwarisan Kelurahan Panjer Kecamatan Kebumen memperingati Bulan Muharrom atau 'Suran' dan Haul Syaikh Ibrahim Asmoroqondi Jum’at (08/12)di komplek Masjid Banyumudal. Kurang lebih 6000 ingkung dan tumpeng yang dibuat warga tersaji dalam acara itu. Wakil Gubernur jawa Tengah, Dra. Rustriningsih MSi, tampak hadir pada acara tahunan warga Kuwarisan tersebut. 

Tradisi turun temurun ini dilakukan warga Kuwarisan setiap Jum'at kliwon di bulan Muharram/Sura. Setiap keluarga atau keturunan asli dusun Kuwarisan, baik yang di Kebumen maupun yang di luar daerah, membuat tumpeng ingkung. Bahkan tak jarang dari mereka yang berada di luar daerah mudik ke kampung halaman untuk ikut memperingati tradisi yang disakraklan tersebut. Kalaupun tak sempat mudik, mereka menitipkan uang kepada sanak keluarga di kampung untuk membuatkan tumpeng ingkung atas nama dirinya. 

Tumpeng dan ingkung ayam dikirab dari kantor kelurahan Panjer dengan ditandu untuk dibawa menuju masjid Banyumudal. Kirab dipimpin pejabat setempat diikuti warga sambil menggendong tumpeng dan ingkung masing-masing. Setelah dibacakan do’a (tahlil) bersama-sama, barulah tumpeng ingkung ayam dimakan.

Warga percaya, tradisi ini sebagai 'penolak bala'. Manfaat lain adalah sebagai sarana silaturahim, bisa berabagi dengan anak yatim dan piatu serta fakir miskin, sebagi perwujudan bersatunya umat manusia baik penguasa dan rakyatnya, juga dapat meningkatkan gizi keluarga. (bk
SUMBER: http://www.beritakebumen.info/2012/12/suran-di-kuwarisan-ribuan-ingkung.html#ixzz2lQFqi3qhVersi: http://jawatimuran.wordpress.com/2013/05/08/riwayat-syekh-maulana-ibrahim-asmoroqondi/
Syekh Ibrahim Asmoroqondi atau Syekh Ibrahim as-Samarqandi yang dikenal sebagai ayahanda Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel), makamnya terletak di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban.Syekh Ibrahim Asmoroqondi diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh kedua abad ke-14.Babad Tanah Jawi menyebut namanya dengan sebutan Makdum Ibrahim Asmoro atau Maulana Ibrahim Asmoro.Sebutan itu mengikuti pengucapan lidah Jawa dalam melafalkan as-Samarqandi, yang kemudian berubah menjadi Asmoroqondi. Menurut Babad Cerbon, Syekh Ibrahim Asmoroqondi adalah putera Syekh Karnen dan berasal dari negeri Tulen. Jika sumber data Babad Cerbon ini otentik, berarti Syekh Ibrahim as-Samarqandi bukan penduduk asli Samarkand, melainkan seorang migran yang orang tuanya pindah ke Samarkand, karena negeri Tulen yang dimaksud menunjuk pada nama wilayah Tyulen, kepulauan kecil yang terletak di tepi timur Laut Kaspia yang masuk wilayah Kazakhstan, tepatnya dia arah barat Laut Samarkand.
Dalam sejumlah kajian historiografi Jawa, tokoh Syekh Ibrahim Asmoroqondi acapkali disamakan dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim sehingga menimbulkan kerumitan dalam menelaah kisah hidup dan asal-usul beserta silsilah keluarganya, yang sering berujung pada penafian keberadaan Syekh Ibrahim Asmoroqondi sebagai tokoh sejarah. Padahal, situs makam dan gapura serta mihrab masjid yang berada dalam lindungan dinas purbakala menunjuk lokasi dan era yang beda dengan situs makam Maulana Malik Ibrahim.
Menurut Babad Ngampeldenta, Syekh Ibrahim Asmoroqondi yang dikenal dengan sebutan Syekh Molana adalah penyebar Islam di negeri Champa, tepatnya di Gunung Sukasari.Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikisahkan berhasil mengislamkan Raja Champa dan diambil menantu.Dari isteri puteri Raja Champa tersebut, Syekh Ibrahim Asmoroqondi memiliki putera bernama Raden Rahmat. Di dalam Babad Risakipun Majapahit dan Serat Walisana Babadipun Parawali, Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikisahkan datang ke Champa untuk berdakwah dan berhasil mengislamkan raja serta menikahi puteri raja tersebut. Syekh Ibrahim Asmoroqondi juga dikisahkan merupakan ayah dari Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Di dalam naskah Nagarakretabhumi, Syekh Ibrahim Asmoroqondi disebut dengan nama Molana Ibrahim Akbar yang bergelar Syekh Jatiswara. Seperti dalam sumber historiografi lain, dalam naskah Nagarakretabhumi, tokoh Molana Ibrahim Akbar disebut sebagai ayah dari Ali Musada (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah, dua bersaudara yang kelak dikenal dengan sebutan Raja Pandhita dan Sunan Ampel.
Babad Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit, dan Babad Cerbon menuturkan bahwa sewaktu Ibrahim Asmoro datang ke Champa, Raja Champa belum memeluk Islam. Ibrahim Asmoro tinggal di Gunung Sukasari dan menyebarkan agama Islam kepada penduduk Champa.Raja Champa murka dan memerintahkan untuk membunuh Ibrahim Asmoro beserta semua orang yang sudah memeluk agama Islam. Namun, usaha raja itu gagal, karena ia keburu meninggal sebelum berhasil menumpas Ibrahim Asmoro dan orang-orang Champa yang memeluk agama Islam. Bahkan, Ibrahim Asmoro kemudian menikahi Dewi Candrawulan, puteri Raja Champa tersebut. Dari pernikahan itulah lahir Ali Murtolo (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah yang kelak menjadi Raja Pandhita dan Sunan Ampel Babad Tanah Jawi, Babad Risakipun Majapahit, dan Babad Cerbon menuturkan bahwa sewaktu Ibrahim Asmoro datang ke Champa, Raja Champa belum memeluk Islam. Ibrahim Asmoro tinggal di Gunung Sukasari dan menyebarkan agama Islam kepada penduduk Champa.Raja Champa murka dan memerintahkan untuk membunuh Ibrahim Asmara beserta semua orang yang sudah memeluk agama Islam. Namun, usaha raja itu gagal, karena ia keburu meninggal sebelum berhasil menumpas Ibrahim Asmoro dan orang-orang Champa yang memeluk agama Islam. Bahkan, Ibrahim Asmoro kemudian menikahi Dewi Candrawulan, puteri Raja Champa tersebut.Dari pernikahan itulah lahir Ali Murtolo (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah yang kelak menjadi Raja Pandhita dan Sunan Ampel.
Menurut urutan kronologi waktu, Syekh Ibrahim Asmoroqondi diperkirakan datang ke Jawa pada sekitar tahun 1362 Saka/1440 Masehi, bersama dua orang putera dan seorang kemenakannya serta sejumlah kerabat, dengan tujuan menghadap Raja Majapahit yang menikahi adik istrinya, yaitu Dewi Darawati. Sebelum ke Jawa, rombongan Syekh Ibrahim Asmoroqondi singgah dulu ke Palembang untuk memperkenalkan agama Islam kepada Adipati Palembang, Arya Damar.Setelah berhasil mengislamkan Adipati
Palembang, Arya Damar (yang namanya diganti menjadi Ario Abdullah) dan keluarganya.Syekh Ibrahim Asmoroqondi beserta putera dan kemenakannya melanjutkan perjalanan ke Pulau Jawa. Rombongan mendarat di sebelah timur bandar Tuban, yang disebut Gesik (sekarang Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban).
Pendaratan Syekh Ibrahim Asmoroqondi di Gesik dewasa itu dapat dipahami sebagai suatu sikap kehati-hatian seorang penyebar dakwah Islam.Mengingat Bandar Tuban saat itu adalah bandar pelabuhan utama Majapahit.Itu sebabnya Syekh Ibrahim Asmoroqondi beserta rombongan tinggal agak jauh di sebelah timur pelabuhan Tuban, yaitu di Gesik untuk berdakwah menyebarkan kebenaran Islam kepada penduduk sekitar. Sebuah kitab tulisan tangan yang dikenal di kalangan pesantren dengan namaUsui Nem Bis, yaitu sejilid kitab berisi enam kitab dengan enam bismillahirrahmanirrahim, ditulis atas nama Syekh Ibrahim Asmoroqondi. Itu berarti, sambil berdakwah menyiarkan agama Islam, Syekh Ibrahim Asmoroqondi juga menyusun sebuah kitab.
Menurut cerita tutur yang berkembang di masyarakat, Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikisahkan tidak lama berdakwah di Gesik. Sebelum tujuannya ke ibukota Majapahit terwujud, Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikabarkan meninggal dunia.Beliau dimakamkan di Gesik tak jauh dari pantai.Karena dianggap penyebar Islam pertama di Gesik dan juga ayah dari tokoh Sunan Ampel, makam Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikeramatkan masyarakat dan dikenal dengan sebutan makam Sunan Gagesik atau Sunan Gesik. Dikisahkan bahwa sepeninggal Syekh Ibrahim Asmoroqondi, putera-puteranya Ali Murtadho dan Ali Rahmatullah beserta kemenakannya, Raden Burereh (Abu Hurairah) beserta beberapa kerabat asal Champa lainnya, melanjutkan perjalanan ke ibukota Majapahit untuk menemui bibi mereka Dewi Darawati yang menikah dengan Raja Majapahit. Perjalanan ke ibukota Majapahit dilakukan dengan mengikuti jalan darat dari Pelabuhan Tuban ke Kutaraja Majapahit.
183 – 191

INGKUNGAN SYURAN KEBUMEN

INGKUNGAN SYURAN KEBUMEN

LOKASI : Di Masjid Banyumudal Kuwarisan Panjer Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen . Acara ini dilaksanakan dalam rangka memperingati seorang Tokoh Ulama besar jawa yang menurunkan para ahli agama dan Sunan dan memeriahkan bulan Syuran /Muharam . Pelaksanaannya jatuh pada Jum�at Kliwon atau kalau tidak ada hari Jum�at Kliwon pada bulan itu, maka dilaksanakan pada hari Jum�at Pon. Para peserta adalah warga Dusun Kuwarisan Kelurahan Panjer tak terkecuali baik itu muslim ,non muslim , penduduk asli maupun pendatang yang sudah menikah atau pernah menikah termasuk peserta adalah para keturunan yang ada di luar daerah sehingga tidak heran kalau setiap tahun jumlah peserta Tumpeng dan Ingkung semakin banyak sampai ribuan . Pada tahun 2005 perayaan itu masuk MURI dan mendapatkan penghargaan Tumpeng dan Ingkung terbanyak di Indonesia sebanyak 4557 . Pada tahun ini 2009 perayaan Ingkungan Syuran dilaksanakan pada Hari Jum�at Kliwon Tanggal 2 Januari 2009 di laksanakan oleh 5500 KK atau 5500 Tumpeng dan Ingkung PROSESI : Pada Jum�at pagi para tokoh masyarakat menyembelih Ayam Jantan atau jengger yang sehat dan tidak cacat atau boleh ayam betina tetapi belum pernah bertelur tentunya yang sehat,tidak cacat dan bersih. Kemudian ibu-ibu memasaknya dengan cara digulai dan memasukan ayamnya dalam keadaan diingkung . selama proses memasak tersebut tidak boleh dicicipi sampai sebelum diberi doa tahlil setelah sholat jum�at Tambahan menu Gulai , ibu-ibu juga memasak Lauk pauk . Usai sholat Jum�at , Tumpeng dan Ingkung dibawa ke Masjid bersama keluarga . Acara dimulai dengan kirab Tumpeng dan Ingkung dari Balai Desa /Kelurahan Panjer . Tumpeng dan Ingkung dibawa dan digotong oleh perwakilan dukuh/RT yang ada di Panjer . Dengan diiringi Kesenian tradisonal para warga membawa Tumpeng dan Ingkung dengan cara digendong ada pula yang dengan menggunakan becak . Para hadirin dalam Undangan adalah Bupati , Muspika dan para tokoh agama dan masyarakat . Kegiatan Inti adalah pembacaan Tahlil yang diimami oleh Tokoh Agama Senior setelah selesai kemudian serah terima ingkung dari Lurah selaku Pimpinan Desa kepada Bupati untuk selanjutnya dipotong-potong tumpengnya untuk diserahkan kepada masyarakat melalui Tokoh-tokoh agama dan masyarakat yang diundang pada acara tersebut dan dimakan bersama-sama . Para warga dan masyarakat menyusul dan dengan keluarga yang dibawanya (Kakek,Nenek,Cucu dan buyut) makan Tumpeng dan Ingkung di Masjid atau dihalaman yang sudah disediakan. MAKSUD DAN TUJUAN Acara Ritual Keagamaan Makan Tumpeng dan Ingkung di Masjid bertujuan : 1. Makan Nasi dan Lauk Ayam adalah untuk meningkatkan Gizi Keluarga (dianjurkan oleh agama pada bulan Muharram untuk makan makanan yang bergizi ). 2. Bagi-bagi Tumpeng dan Ingkung kepada Saudara dan orang yang lebih tua dan khususnya kepada Fakir Miskin dan anak Yatim Piatu adalah perwujudan perbuatan hormat pada orang yang sepuh (tua) makanya sebelum dibacakan doa makanan tidak boleh dimakan dulu, dan bentuk amal sodakoh dimana pada hari ke 10 bulan Muharram diperintahkan oleh agama untuk memperbanyak memberikan amal khususnya kepada Fakir Miskin dan para yatim Piatu . 3. Ayam dalam keadaan Diingkung adalah filosofi manusia , bahwa orang sebelum meninggalkan alam fana/dunia diwajibkan melaksanakan sholat agar meninggalnya dalam keadaan Chusnul Chotimah (Baik perbuatanya dan diterima arwahnya) . 4. Warga dan keturunan datang sendiri ke masjid sebagai bentuk Ikatan kekeluargan dan persahabatan dimana keluarga dan keturunan yang sudah terpisah jauh atau belum mengenal satu sama lainnya menjadi bersatu kembali dan menjalin ikatan keluarga ( ngumpulaken balung pisah : jawa) 5. Undangan terdiri para Tokoh Agama dan Masyarakat dengan Pimpinan Pemerintah sebagai perwujudan bersatu dan bertemunya umat manusia baikdari kalangan Penguasa wilayah dan maupun rakyatnya . RIWAYAT SINGKAT Acara Syuran dengan cara membawa Tumpeng dan Ingkung tidak lepas dari sejarah Tokoh Ulama Besar Syech Ibrohim Asmara Kandi yang melakukan Syiar Islam di Tanah Jawa dan berdirinya Masjid Banyumudal sebagai sarana tempat ibadah pertama di Kebumen. Masjid Banyumudal adalah Masjid yang didirikan oleh seorang Aulia yang bernama Syech Ibrohim Asmara Kandi yang hidup pada masa Raja Cempa sekitar pertengahan abad 15 Masehi ( Daerah Demak-Jepara) dan mengajak Raja Cempa pada waktu itu untuk memeluk agama Islam.Beliau seorang ulama besar yang berasal dari daerah Asia Timur (Samarkan, yaitu Negara bagian Uni Soviet kira-kira di Ubekistan atau Kanzakstan). Beliau adalah seorang syiar Islam yang pertama di Jawa yang menurunkan para wali di Jawa. Di tanah Jawa ( Demak ) dalam melaksanakan syiarnya Syeh Ibrohim Asmara Kandi disamping sudah dibekali ilmu pengetahuan tentang Islam juga dibekali alat transportasi berupa hewan piaraan yaitu kuda dan juga seekor hewan piaraan yang sangat disukai adalah harimau. Mustaka Masjid dari terakota Sebagai bukti bahwa beliau telah melakukan perjalanan, dapat dibuktikan dengan diketemukan dan dipeliharanya benda-benda purbakala yang sampai saat ini masih dijaga kelestariaanya BENDA PURBAKALA Benda Peninggalan Syeh Ibrohim Asmara Kandi yang tersimpan dan baru dibuka ( selama ini tersimpan di kotak kayu dan dipaku rapi dan kuat) pada tahun 2005 adalah : � Mustaka Masjid yang terbuat dari terakota yang dibuat bersamaan waktunya dengan Masjid Agung Demak. � Rantai Kuda yang terbuat dari Logam /Kuningan 2 pasang. � Beruk dari Tempurung 1 buah. � Uang Cina /Tiongkok Kuno sebanyak 50 keping. � Barang pecah belah ( piring dan mangkok). � Kuku Harimau 10 cm 1 buah � Potongan batok kelapa berlobang 2 dan bertali dengan lambang wajah harimau 1 buah. � Bungkus putih tertutup dan bertuliskan huruf jawa . � Keris berbagai ukuran sebanyak 17 buah dan salah satunya ada yang berlapiskan emas . � Tombak sejumlah 5 buah . � Pedang panjang 2 buah . � Kudi Cenggareng 2 buah . � Lokasi Benda Purbakal a : 1. Mustaka terbuat dari Terakota di atas Masjid 2. Benda yang yang lain disimpan oleh tokoh masyarakat setempat. Pasar Senggol merupakan acara tradisi yang dilaksanakan masyarakat kelurahan Selang Kebumen dan sekitarnya secara rutin dan turun temurun setiap tanggal 12 Maulud . Masyarakat yakin timbulnya Pasar Senggol Kelurahan Selang, konon berasal dari rombongan karesidenan Banyumas yang hendak mempersembahkan upeti pada Raja Mataram di Jogjakarta. Dalam perjalanannya transit di daerah Selang, karena adanya kabar bahwa di daerah Kutowinangun ada kerusuhan / huru hara. Kecuali itu juga dimanfaatkan untuk menunggu teman rombongan dari Banyumas yang belum sampai di daerah Selang. Masyarakat sekitar yang menerima �Tamu� tersebut mengekspresikannya / menyambutnya dengan berbagai cara : 1.Ada yang nonton atau sekedar jalan jalan; 2.Ada yang membawa alat-alat pertanian untuk dijual; 3.Ada yang membawa hasil perkebunan , bibit berbagai macam tanaman, makanan khas, hasil karya dll, juga ikut diperjual belikan. Adanya pasar tiban tersebut menjadi sarana bertemunya masyarakat baru . Baik dari wilayah Selang sendiri maupun dari kampung Panjer, Kembaran, Adikarso, Tamanwinangun, Kalirejo, Depokrejo, Jatisari dan lain-lain dengan Rombongan dari Banyumas itu sendiri. Warga masyarakat tersebut akan membaur, baik dari golongan anak-anak, para muda-mudi maupun para orang tua. Dengan demikian terjadi kontak fisik maupun kontak batin khususnya para muda-mudi/ bujangan. Barangkali adanya kontak tersebut yang kemudian tempat itu dinamai PASAR SENGGOL, yang masuk wilayah Kelurahan Selang Kecamatan/ Kabupaten Kebumen. Sebutan Pasar Senggol hanya untuk sebutan saat Perayaan 12 Maulud maupun pada selesainya puasa bulan Ramadhan. MITOS Masyarakat sangat mempercayai bahwa dengan hadir dan mengunjungi Pasar Senggol bersama sama dan membeli sesuatu di tempat itu akan menjadikan : 1.Gampang jodoh; 2.Awet Muda 3.Lancar Rejeki Barangkali karena kedatangan mereka ke arena Pasar senggol ada yang memperhatikan atau diperhatikan, sehingga terjadi pertemanan sampai pada pernikahan. Demikian juga anggapan awet muda, karena acara rutin tahunan merupakan peristiwa yang dinantikan, jelas mereka menyambutnya dengan bargairah yaitu dengan berhias diri/ berdandan. Karena dengan dandan itulah otomatis tampilan akan berbeda, tentunya dengan pakaian dan atribut yang disukainya. PEKAN SENI DAN BUDAYA. Acara Pasar Senggol berdampak luas terhadap ekonomi (multiplier effec) selain sebagai wisata belanja juga sebagai wisata sejarah. Adapun bentuk kemasan dimungkinkan kedepan adalah sebagai berikut ; 1.Dilaksanakan minimal 24 jam ; 2.Luas area antara makam Sijago sampai perbatasan WiLayah Selang dan Panjer; 3.Penataan para pedagang; 4.Mendatangakan para UKM dari berbagai macam produk untuk mengisi stand- stand; 5.menampilkan grup-grup, kelompok kesenian; 6.Sebagai ajang berbagai lombadari para siswa/pelajar maupun umum 7.Dan lain lain. WAKTU : Pasar Senggol dilaksanakan pada : Tanggal : 26 desember 2009 Tempat : Pasar Selang Kebumen 3 km arah timur Kota Kebumen (Nast101209)

No comments:

Entri Populer