|
Ternyata bukan hanya umat
Muhammad yang berpuasa. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Muhammad,
umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya
mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga
hari setiap bulannya. Bahkan, nabi Adam alaihissalam diperintahkan untuk
tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada
masa itu. "Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu
termasuk orang-orang yang zalim". (Al-Baqarah: 35).
Begitu pula nabi Musa bersama
kaumnya berpuasa empat puluh hari. Nabi Isa pun berpuasa. Dalam Surah
Maryam dinyatakan Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi
Daud alaihissalam sehari berpuasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya.
Nabi Muhammad saw. Sendiri sebelum diangkat menjadi Rasul telah
mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa
Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat
Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada
masa itu turut mengamalkan puasa Asyura.
Begitu pula, binatang dan
tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama
mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya
untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan
matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan
daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan
menyerbuk bunga-bunga.
Jika berpuasa merupakan sunnah
thobi'iyyah (sunnah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive,
mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan
kepada umat Islam, tentu saja memikili makna filosofis dan hikmah
tersendiri. Karena, ternyata puasa bukan hanya menahan dari segala
sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan
merefleksikan diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain
secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri
dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta
melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan. Rahasia-rahasia
tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada
ayat 183 surah al-Baqarah. Allah swt memerintahkan: "Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa". (QS. Al-Baqarah:
183).
Allah swt mengakhiri ayat
tersebut dengan "agar kalian bertakwa". Syekh Musthafa Shodiq
al-Rafi'ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya wahyu al-Qalam mentakwil kata
"takwa" dengan ittiqa, yakni memproteksi diri dari segala
bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan
menjaga humanisme dan kodrat manusia dari perilaku layaknya binatang.
Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan
diri sendiri dan orang lain, sekarang atau nanti. Generasi kini atau
esok.
Mazhab sosialisme yang mengalami
masa kolapnya di Eropa, tak mampu mengubah, menambah dan mengurangi jatah
perut pengikutnya. Mereka, para sosialisme yang dianggap sebagai
"mazhab buku" tak pelak lagi memandang puasa sebagai
"satu-satunya sistem sosialis yang paling unik dan justeru paling
benar"! Bagaimana tidak, puasa adalah kefakiran secara 'paksa' yang
ditentukan oleh syariat agama kepada seluruh umat (Islam) tanpa pandang
bulu. Islam memandang sama derajat manusia, terutama soal
"perut". Mereka yang memiliki dolar, atau yang mempunyai
sedikit rupiah, atau orang yang tak memiliki sepeserpun, tetap merasakan
hal yang sama: lapar dan haus. Jika sholat mampu menghapus citra arogansi
individual manusia diwajibkan bagi insan muslim, haji dapat mengikis
perbedaan status sosial dan derajat umat manusia diwajibkan bagi yang
mampu, maka puasa adalah kefakiran total insan bertakwa yang bertujuan
mengetuk sensitifitas manusia dengan metode amaliah (praktis), bahwasanya
kehidupan yang benar berada di balik kehidupan itu sendiri. Dan kehidupan
itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki kesamaan
rasa, atau manusia "turut merasakan" bersama, bukan sebaliknya.
Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil) tatkala turut
merasakan sensitifitas satu rasa sakit, bukan turut berebut melampiaskan
segala macam hawa nafsu.
Dari sini puasa memiliki
multifungsi. Setidaknya ada tiga fungsi puasa: tazhib, ta'dib dan tadrib.
Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik
jiwa (ta'dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang
kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan
akhir puasa: takwa. Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah
melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Takwa dan kesalehan sosial adalah dua wajah dari satu keping mata uang
yang sama, mengintegral dan tak dapat dipisahkan.
Ada sejenis kaidah jiwa,
bahwasanya "cinta" timbul dari rasa sakit. Di sinilah letak
rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa. Dengan jelas dan akurat, Islam
melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit
hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa. Dari lapar
dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis
kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau kaum
tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar
terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara praktis
melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia. Adakah cara yang paling
efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua
sistem yang saling terkait: yang melihat dan yang buta, yang cendikia dan
yang awam, serta yang teratur dan yang mengejutkan.
Jika cinta antara orang kaya yang
lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah
kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai "sang
mesias", juru selamat. Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah
dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang
merintih. Ia tidak serta merta mendengar itu sebagai suara mohon
pengharapan, melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan
lain untuk disambut, direngkuh dan direspon akan makna tangisannya itu.
Orang berpunya akan memaknai itu semua atas pengabdian yang tulus, iimaanan
wa ihtisaaban. Semua karena Allah, karena hanya Dia Sang pemilik
segala.
- Munajat, SHI (Penyuluh Fungsional Kementerian Agama Kabupaten Kebumen.
No comments:
Post a Comment